Pada kegiatan workshop implementasi Kurikulum Merdeka yang diadakan di SMPN 2 Wanayasa, kehadiran Kepala Seksi Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta, Bapak Asep Rahmatudin, M.Ag., memberikan suatu penguatan yang mendalam tentang hakikat pendidikan. Selain membahas pentingnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pelayanan, beliau juga menyinggung isu yang sering kali terabaikan namun krusial, yaitu introspeksi diri bagi para guru. Menurut beliau, introspeksi adalah fondasi utama bagi seorang pendidik dalam menjalankan perannya, terutama dalam menghadapi dinamika siswa yang sering kali penuh dengan tantangan.
Dalam pandangan Beliau, seorang guru tidak boleh terburu-buru mencari kambing hitam ketika muncul masalah perilaku negatif pada siswa. Setiap permasalahan yang terjadi di kelas atau di lingkungan sekolah harus dilihat dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang diri sendiri sebagai pendidik. Beliau menekankan bahwa guru harus bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya sudah cukup memahami siswa saya? Apakah pendekatan yang saya lakukan sudah tepat?" Dengan introspeksi, guru dapat memahami apakah ada hal dalam cara mengajar atau sikap sehari-hari yang mungkin menjadi pemicu atau berkontribusi pada perilaku negatif siswa.
Seiring dengan itu, beliau menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya memahami profil siswa. Dalam perspektif ini, pembelajaran tidak lagi sekadar kegiatan mentransfer ilmu, melainkan proses memahami potensi unik yang ada pada setiap peserta didik. Pemahaman yang mendalam terhadap profil siswa ini, dalam pandangannya, akan memungkinkan seorang guru menciptakan pembelajaran yang tidak hanya efektif tetapi juga manusiawi. Bagi beliau, pendidikan haruslah menjadi jalan untuk membangkitkan kekuatan batin siswa, bukan sekadar memenuhi kewajiban kurikulum.
Dalam pandangan filsafat pendidikan yang mendalam, Bapak Asep juga menyoroti manajemen aset sebagai hal yang krusial. Baginya, sekolah bukan sekadar tempat yang menunggu fasilitas lengkap agar dapat berfungsi, tetapi lebih sebagai ruang hidup di mana potensi dapat diciptakan dari apa yang ada. Filosofi ini menggambarkan bahwa setiap aset, baik fisik maupun non-fisik, adalah sesuatu yang dinamis dan selalu bisa diberdayakan. Manajemen aset bukanlah perkara kepemilikan materi, tetapi tentang kemampuan manusia untuk beradaptasi dan memaksimalkan sumber daya yang ada.
Ketika berbicara tentang tuntutan fasilitas, beliau dengan bijaksana mengingatkan para guru bahwa kebutuhan tidak pernah akan benar-benar terpenuhi. Oleh karena itu, tugas seorang guru bukanlah terus menuntut apa yang belum ada, tetapi bagaimana ia bisa menciptakan pembelajaran berkualitas dengan segala keterbatasan. Dalam perspektif ini, beliau menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan tidak diukur dari kelengkapan fasilitas, melainkan dari adaptabilitas guru dalam situasi apapun. Ini adalah seni untuk melihat potensi dalam keterbatasan, suatu kebijaksanaan yang berasal dari pemahaman mendalam terhadap esensi pendidikan itu sendiri.
Lebih lanjut, Beliau menegaskan bahwa pendidikan sejati terletak pada bagaimana guru mampu mentransformasikan keterbatasan menjadi kekuatan. Seorang guru yang adaptif bukanlah mereka yang selalu menunggu kesempurnaan, melainkan yang mampu bekerja dengan apa yang ada. Guru, dalam hal ini, tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pencipta lingkungan belajar yang dinamis dan kreatif. Filosofi ini mengajarkan bahwa makna pendidikan bukan pada seberapa banyak yang dimiliki, tetapi pada bagaimana setiap elemen yang ada bisa diberdayakan secara maksimal.
Beliau kemudian menyoroti, bahwa sering kali, manusia terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan dan kesuksesan hanya bisa diraih jika semua kebutuhan materi terpenuhi. Namun, dalam pendidikan, kebijaksanaan sejati lahir dari kemampuan untuk berdamai dengan keadaan dan tetap menghasilkan sesuatu yang bermakna. Fasilitas hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan dari pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mandiri pada diri siswa, dan itu dapat dicapai dengan cara yang paling sederhana sekalipun.
Pernyataan ini menyiratkan filsafat hidup yang lebih dalam, bahwa kita sering kali tidak memiliki kendali penuh atas situasi luar, namun kita memiliki kendali penuh atas cara kita meresponsnya. Dengan demikian, seorang guru yang bijaksana adalah mereka yang mampu menerima kenyataan, bukan sebagai batasan, tetapi sebagai tantangan untuk melampaui diri sendiri. Pendidikan adalah proses yang tidak pernah berhenti, di mana keterbatasan seharusnya menjadi titik awal kreativitas, bukan akhir dari usaha.
Dalam kesimpulannya, Kasi GTK Pendidikan Kabupaten Purwakarta ini mengajak para guru untuk melihat pendidikan dari sudut pandang yang lebih luas. Pendidikan bukan hanya soal fasilitas, tetapi tentang bagaimana seorang guru mampu menciptakan ruang belajar yang inspiratif dari apa yang ada. Guru harus menjadi pionir perubahan, yang tidak hanya merespons perubahan, tetapi juga menciptakan perubahan melalui daya adaptasi dan inovasi. Dengan demikian, pembelajaran yang baik tidak perlu menunggu segala fasilitas terpenuhi, tetapi harus dimulai dari keberanian untuk menciptakan sesuatu yang bermakna dalam situasi apapun.
Melalui penguatan ini, beliau meninggalkan kesan mendalam bahwa esensi pendidikan sejati adalah kemampuan untuk memberdayakan, bukan untuk menuntut. Guru adalah pemimpin dalam lingkup kecilnya, yang memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan besar dari hal-hal kecil. Filosofi ini mengajarkan bahwa setiap keterbatasan dapat menjadi peluang jika dilihat dengan mata yang bijak dan hati yang terbuka.
Semangat..